Friday, May 3, 2019

Jelajah Jawa Tengah Bagian 4: Kawah Sikidang, Padang Savana dan Kompleks Candi Arjuna

Setelah dari Curug Sirawe yang lumayan memakan tenaga, kami beristirahat sejenang di warung makan yang ada di samping kolam pemandian air panas. Berbeda dengan jalan ketika untuk pulang kami mengambil jalan yang membelah desa ini yang lumayan bagus tapi sangat curam. Karena jalannya kecil dan curam jadi semua penumpang harus turun dan menunggu di ujung jalan. Dari jalan ini kami bisa meihat ke bawah, ke desa yang diselimuti awan.
Kembali lagi, melewati Kawah Sileri selanjutnya di pertigaan mengambil arah ke Kawah Sikidang, salah satu icon Dieng. Seperti Kawah Sileri, Kawah Sikidang masih termasuk wilayah Dieng Banjarnegara. Berjarak sekitar 5km dari Kawah Sileri tidak begitu sulit menemukan lokasi Kawah Sikidang. Sebelum Kawah Sikidang kita akan melewati komplek Candi Arjuna. Hanya saja kami mampir ke Candi Arjuna di sore hari.
Sampai di loket masuk kami membayar HTM Rp. 15.000 yang merupakan tiket terusan Kawah Sikidang dan Candi Arjuna dan sudah termasuk parkir. Di parkiran terlihat banyak sekali kendaraan yang mengisi parkiran. Selain itu padat sekali dengan warung-warung yang menjual aneka makanan minuman dan aneka cendera mata. Juga sayur-sayuran terutama kentang yang menjadi primadona Dieng.
Landmark Kawah Sikidang
Memasuki lorong kios-kios pedangangkita sudah memasuki area Kawah Sikidang. Berbeda dengan Tangkuban Perahu yang berada di puncak gunung, Kawah Sikidang berupa kawah beruapa area terbuka dan lebih mirip Jaboi Volcano di Sabang. Kawah ini membentuk bebatuan berwarna putih-kecoklatan karena adanya kandungan sulfur. Hanya sayangnya, warung-warung tenda berjejer sampai jauh ke jalan arah ke kawah yang membuat pemandangan kurang bagus dan terkesan tidak rapi.

Di salah satu saung saya menerbangkan drone untuk mengambil pandangan atas area Kawah Sikidang. Mengambil foto tampak atas dan mendekati area kawah.

Kemudian kami mendekati area kawah, ke area kolam yang mengandung lumpur panas yang bergolak. Areanya tidak begitu luas, mungkin seluas lapangan volley. Area ini di pagari sekelilingnya sehingga pengunjung tidak mendekati bibir kolam. Asap pekat menyelimuti kolam kawah dan bergerak sesuai arah angin bertiup. Di sekelilingnya terlihat asap-asap belerang yang keluar melewati celah-celah bebatuan. Karena mengandung belerang sebaiknya kita jangan berlama-lama berdiri di suatu tempat dan usahakan memakai masker.
Kawah Sikidang
Kawah Sikidang
Untuk melihat view kolam kawah dari atas, kita bisa memanjat bukit di belakang kolam. Dari ketinggian ini kita bisa melihat view kolam dan latar perbukitan di sekeliingnya.

Dari Kawah Sikidang kami melanjutkan ke Padang Savana yang tidak terlalu jauh jaraknya. Sebenarnya sebelum ke Sikidang kita melewati papan petunjuk arah ke Padang Savana. Meskipun tidak egitu jelas petunjuknya akhirnya kami menemukan pos penjagaan wana wisata yang kurang dikenal ini.
Kawah Sikidang
Kawah Sikidang
Berada di pinggir jalan utama, terdapat pos sederhana, dengan membayar HTM Rp. 7.500 per orang dan parkir Rp. 5.000 kemudian dilanjutkan trekking. Trekking dimulai dengan melewati pipa-pipa pembangkit listrik tenaga panas bumi yang memang banyak terdapat di sini. Melintasi pipa kemudian trekking mengikuti jalan setapak mendaki bukit. Terdapat taman yang sudah tidak terusur, padahal viewnya di sini sangat bagus, selain melihat view pedesaan juga kita bisa melihat view Kawah Sikidang.
Trek menuju Savana
Salah satu view menuju Savana
Kawah Sikidang di kejauhan
Terus mendaki bukit melewati jalan setapi berhutan pinus, lumayan menguras tenaga. Di puncak bukit jalanan agak landai cenderung menurun melewati semak-semak. Selanjutnya jalanan mulai menurun melewati semak-semak hingga mencapai area yang rata. Di sini kita bisa melihat savana hijau kekuningan.
Padang Savana Dieng
Padang Savana Dieng
Padang Savana Dieng
Savana ini bagaikan hamparan permadani hijau, dihiasi bukit-bukit dan lembah-lembah kecil dan tidak terlalu dalam. Di ujung savana terdapat hutan yang sekaligus menjadi batas padang savana ini. Di musim kering, savana ini akan berwarna kecoklatan dan akan terlihat eksotis. Hijaunya savana ini memberikan kesan sejuk dan damai, apalagi berada di ketinggian menjadikan suasananya sejuk dan dingin. Indahnya suasana di sini sangat cocok bercengkrama dengan teman-teman, berfoto ataupun sekedar bermalas-malasan dan tidur-tiduran.

Bercengkrama di Padang Savana


Bercengkrama di Padang Savana

Di lembah yang merupakan bagian terendah savana ini terdapat mata air kecil, (sepertinya) bisa dijadikan sumber air buat yang berkemah di sini. Meskipun begitu, di salah satu sudut savana ini terlihat kolam/rawa yang berair tak terlau dalam. Untuk menghindari angin, biasanya pengunjung berkemah di sekitar hutan yang banyak pephonan. Meskipun saat kami datang baru terlihat satu tenda, namu pas turun terlihat banyak pengunjung yang datang membawa peralatan berkemah.


Hari semakin sore, hampir jam 5 dan udara tiba-tiba dingin menusuk. Saatnya kami turun dan kembali ke penginapan. Sebelum ke penginapan kami mampir sebentar ke kompleks Candi Arjuna yang kebetulan kami melewatinya.

Untuk masuk ke kompleks Candi Arjuna, kami sudah tidak membayar tiket masuk lagi karena tadi sudah membeli tiket terusan di Kawah Sikidang. Di sini kami cuman membayar parkir Rp. 5.000. Sebelum masuk ke kompleks Candi Arjuna, kami berfoto sebentar di Candi gatotkaca yang berada di samping parkiran. Candi ini adalah Candi tunggal, tidak terlalu besar. Meskipun begitu masih terlihat cantik dengan latar belakang pegunungan.
Candi Gatotkaca
Memasuki area Candi Arjuna, melewati taman hari sudah mulai gelap. Tidak terlalu banyak pengunjung tersisa di area candi dan itupun sudah mulai meninggalkan lokasi. Terdapat beberapa candi utama dan candi pengiring. Terdapat juga area yang dalam proses renovasi. Untuk cerita lengkap mengenai Candi ini bisa di baca via Wikipedia.
Jalan menuju Candi Arjuna
Kompleks Candi Arjuna
Hari mulai gelap, dan angin dingin mulai menusuk dan lampu-lampu taman sudah mulai hidup. Dan kami pun meninggalkan lokasi. Lain kali, kalau ada waktu, saya akan berkunjung ke kompleks candi ini lagi, dan tentunya di siang hari.


PS: lokasi ini di larang menggunakan drone

Labels: , , , , , , ,

Jelajah Jawa Tengah Bagian 5: Batu Pandang Ratapan Angin

Hari ketiga yang berati cuman 2 malam kami di Dieng. Pagi-pagi sebelum jam  7 kami sudah checkout dari penginapan. Tujuan selanjutnya adalah Baturaden. Namun sebelum itu kami mampir dulu ke Batu Pandang Ratapan Angin dan spot ini  satu arah ke Baturaden via Wonosobo. Dari penginapan ke Batu Pandang ini cuman berjarak sekitar beberapa kilo saja dari penginapan. 

Dari penginapan kami melewati persimpangan (salah satu jalan) menuju Kawah Sikidang yang ada di sisi kanan. Tidak jauh dari perimpangan ini kita sudah menemukan parkiran jika ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang berada di sisi kanan jalan dan loket ke telaga-telaga tersebut di seberang jalan/sisi kiri. Karena kami tidak berencana ke danau, kami melanjutkan perjalanan ke arah Batu Ratapan yang tidak begitu jauh dari danau.

Masih jam 7 kurang kami sampai di parkiran. Dari sini kita bisa melihat Kawah Sikidang di kejauhan, yang terlihat jelas dengan ciri khasnya, bebatuan dan asap mengepul berwarna putih. Belum terlihat adanya pengunjung dan warung-warungpun masih berkemas untuk buka. Untuk HTM kami bayar Rp. 10.000 per orang dan parkir mobil Rp. 5.000. Selanjutnya menaiki tangga-tangga yang berada di lorong-lorong di celah bebatuan besar. Di kiri kanan terdapat ladang-ladang kentang dan sayur dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong di antara bebatuan.
Menuju spot foto
Hanya sekitar 100m kami sudah sampai di atas bukit di salah satu icon yang membuat Dieng dikenal wisatawan dalam dan luar negri, yaitu Batu Pandang Ratapan Angin. Di atas ternyata sudah ada beberapa pengunjung. Di atas yang merupakan formasi batu-batu gunung.

Dari atas ini kita di suguhi pemandangan yang menakjubkan dari semua sudut. 2 telaga yang menjadi titik sentral yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Telaga-telaga ini di kelilingi oleh pepohonan topis dengan latar pegunungan. Melempar pandangan ke sekeliling terlihat rumah-rumah dan ladang-ladang di kaki-kaki dan lereng-lereng gunung.hijau nya pemandangan membuat hati dan jiwa lebih adem dan mata menjadi lebih segar (menurut pendapat para ahli hahaha....).
Salah satu sudut Batu Pandang
Salah satu sudut Batu Pandang
Tujuan kami sebenarnya ke sini adalah berfoto di Batu Pandang dengan latar belakang Telga Wana dan teaga Pengilon,2 telaga yang berdampingan. Meskipun berdampingan, air di kedua telaga tersebut berbeda warna. Telaga Warna berwarna hijau lumut sementara Teaga Pengilon berwarna coklat kehitaman. Telaga Pengilon mengandung sulfur sehingga tidak ada ikan yang hidup di sana.
Batu Pandang yang menjadi spot foto sebenanya sebuah batu yang agak menjorok di sisi tebing dengan atasnya agak rata sehingga pengunjung bisa duduk dan berdiri. Di butuhkan sedikit keberanian untuk ke batu ini dan buat kalian yang takut ketinggian tidak di sarankan naik. Karena merupakan spo favorit, pengunjung harus bergantian berfoto, makanya kami ke sini jam 7 sehingga belum banyak pengunjung ke sini.

Satu persatu kami bergantian berfoto. Dan selagi berfoto, jumlah pengunjung makin bertambah (karena hari Minggu) dan membuat kami harus buru-buru mengambil foto karena harus gantian.
Spot foto di atas Batu Ratapan
Spot foto di atas Batu Ratapan
Saya mencoba mengambil foto dari atas/drone sehingga bisa mendapatkan view dari ketinggian. Dengan drone saya bisa mengambil foto Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas serta pemdangan di sekelilingnya.
Telaga Warna dan Telaga Pengilon
Untuk spot foto berikutnya ada di sebelah kanan berupa Batu Ratapan Angin, berupa tebing gunung juga spot foto berupa balon udara (berbayar). Sebenarnya di sini juga ada flying fox dan mountain bike/sepeda gantung seperti di Lodge Maribaya. Untuk sepeda ini ada di bawah dekat parkiran.
Salah satu spot foto
Salah satu spot foto
Menyudahi kunjungan di Batu Pandang ini kami tutup dengan sarapan pagi di sebuah warung diantara banyak warung dekat parkiran. Murah meriah dan lumayan mengganjal perut selama perjalanan berikutnya ke Baturaden.
Salah satu cemilan di sini, kentang dan goreng jamur
Perjalanan dari Dieng ke Baturaden yang masih di Jawa Tengah mengambil arah yang berlawanan sewaktu datang yaitu ke arah Wonosobo. Rute yang kami lewati melewati jalan-jalan yang berkelok-kelok di antara perbukitan, melewati kebun-kebun sayur. Di sebelah kiri kita bisa melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang berdiri gagah.
Selain berbelok-belok, jalur ini juga berupa turunan panjang. Jika kita dari Wonosobo tentulah akan melewati jalan mendaki. Perlu diperhatikan kondisi kendaraan ketika melewati jalur ini. Ini terlihat beberapa truk yang mogok dan tidak kuat mendaki.

Melewati terminal Wonosobo yang ramai, jalanan agak macet. Di terminal inilah biasanya traveler berganti mobil angkutan untuk menuju Dieng karena bis-bis besar tidak diperbolehkan ke atas, selain kondisi jalan yang mendaki panjang juga karena jalannya kecil.

Sampai di Banjarnegara, menyusuri jalan yang ada di sepanjang sungai Serayu. Daerah in terkenal sebagai salah satu sentra durian. Sepanjang jalan ini banyak sekali kita temukan pedagang duren dan es dawet juga tentunya. Di salah satu apak duren kami berhenti untuk menikmati duren Banjarnegara. Duriannya tergolong murah, dari harga Rp. 15.000 sampai termahal Rp. 30.000, dengan daging durian tebal dan bijinya yang kecil dan rasanya yang enak, harga tersebut sangatlah murah.

Labels: , , , , , , ,

Wednesday, May 1, 2019

Jelajah Jawa Tengah Bagian 3: Curug Sirawe

Curug Sirawe
Untuk lokasi tepatnya dimana curug ini berada, kami menanyakannya kepada penjaga loket Kawah Sileri. Dari Kawah Sileri kami mengambil jalur kanan menuju Kampung Bitingan yang berjarak sekitar 2.5km. dari kawah, kami mengambil arah kanan, dengan kondisi jalan sedikit menanjak dan beraspal tapi agak kecil. Menuju Kampung Bitingan hingga aspal terakhir (sebenarnya ada jalan lain beraspal tapi terjal dan kami baru tahu pas pulang).
Jalan menuju Curug Sirawe dari Kawah Sileri
Selanjutnya beberapa ratus meter hingga sampai parkiran, jalannya sangat rusak. Karena sangat riskan, semua penumpang turun  dan melanjutkan dengan jalan kaki. Di sebelah kiri terlihat sedang ada pembangunan area wisata, sepertinya tempat pemandian air panas.
Jalan Kampung Bitingan
Suasana kampung yang berkabut
Di pertigaan sebelum parkiran terdapat jalan menuju Batang tapi sangat jarang dilewati karena jalannya jelek dan berada di pinggir bebukitan. Sampai di lokasi parkiran, di depan rumah warga dan bertemu bapak-bapak yang memberi info tentang curug ini. Di lokasi ini terdapat 4 curug, 3 curug berada di atas yang 2 diantaranya adalah air panas sementara dari 3 curug tersebut membentuk satu aliran yang selanjutnya membentuk curug tingkat 2.

Setelah sedikit berbincang-bincang, kami melanjutkan perjalanan ke Curug Sirawe ditemani guide kecil kami namanya Sabi, anaknya si bapak yang tadi menyambut kami. Berjalan melewati jalan yang pas buat 1 mobil, terlihat ada tempat pemandian air panas yang bayar masuknya cuman Rp. 3.000). melewati gerbang Curug Sirawe, selanjutnya kami menyusuri jalan setapak.
Gerbang menuju Curug Sirawe
Trekking menuju curug
Jalan setapak berupa cor-coran ini melewati kebun-kebun sayur seperti kentang yang menjadi primadona Dieng, kol, daun bawang dll. Yang menarik adalah buah carica yang banyak tersebar di Dieng, juga di sini, yaitu buah pepaya yang hanya ada di Dieng yang ukurannya sangat kecil, sekitaran genggaman anak bayi, daun nya lebih lebar dan terlihat kasar, konon rasanya hambar (belum pernah nyoba sih hehehe), makanya buah ini dibuat sebagai manisan yang menjadi salah satu oleh-oleh andalan Dieng. Dan konon lagi, jika carica ini ditanam di luar dieng maka akan menjadi seperti pepaya biasa.... hmmmm menarik ya?
Buah Carica
Setelah menyusuri jalan landai kemudian jalan menurun meewati tangga-tangga yang dikiri kanannya semak-semak. Setelah berjalan kira-kira 15 menit dari parkiran sampailah kami di area yang rata yang berada di pinggir lembah. Di bibir lembah terdapat saung namun tidak ada yang berjualan di sini. Dari spot ini kita sudah bisa melihat 3 Curug Sirawe yang jatuh langsung ke lembah yang sudah menjadi bagian dari kecamatan Batang. Terdapat 3 curug yang jatuh dari tebing dan 2 diantaranya adalah air panas yang mengalir dari Pegunungan Dieng.
Curug Sirawe tingkat 1
Curug Sirawe tingkat 1
Untuk turun ke bawah, kami harus menuruni jalan setapak melewati spot selfie dari kayu yang sudah terlihat rapuh dan tidak terpakai. Menuruni jalan setapak berupa tangga-tangga dari cor-coran dan banyak tertutup semak-semak. Kemudian dilanjutkan dengan jalan tanah hingga akhirnya sampai di aliran sungai. Dari kanan mengalir air sungai yang berasal dari curug pertama yang dingin. Kemudian melintasi sungai melewai jembatan kayu hingga sampailah di depan curug yang berair panas.
Berfoto di salah satu curug
Curug Sirawe (sebut saja nomor 2) ini berair panas, dan begitu sampai di bawah terlihat uap panas menutupi area lembah sekitar curug ini. Tidak perlu berada di bawah curug, cukup berdiri di sekitar curug berjarak 5 meter kita sudah bisa merasakan mandi di shower air panas.Karena airnya air panas dan yang tidak langsung dari sumbernya dan sudah jalan panjang jadi airnya tidak terlalu jernih.
Curug Sirawe yang berair panas
Curug Sirawe yang berair panas
Selanjutnya menuju Curug Sirawe bagian bawah, kita sebut saja Curug no. 4. Curug ini mempunyai aliran air yang merupakan gabungan dari 3 curug di atasnya. Untuk menuju curug ini kita harus kembali lagi ke saung atas. Ke curug ini cuman saya dan Revan serta ditemani guide kami, Sabi.

Trek untuk ke curug bagian bawah ini cukup tersembunyi. Untung saja kami ditemani oleh guide. Dari saung kami mengambil jalan setapak yang ada di sebelah kiri. Jalannya lumayan tertutup oleh semak-semak. Awalnya terlihat biasa saja tapi lama-lama jalannya mulai terjal dibanding curug bagian atas. Kemudian memasuki hutan dengan pohon-pohon besar yang membuat kondisi agak temaram.

Setelah melewati jalanan terjal dan hutan, kemudian kami sampai di daerah yang cukup terbuka, terlihat jalan  setapak yang berada di sisi tebing dan lembah di sisi lainnya. Di ujung tebing terlihat Curug Sirawe yang kami tuju, curug yang membuat kagum. Dengan ketinggian hampir 100m dengan debit yang besar membuat kagum.

Trek untuk ke bawah sangat terjal, melewati jalan setapak yang tertutup tanaman merambat yang basah terkena tampias curug. Karena trek inilah makanya curug ini sepi pengunjung, biasanya hanya sampai ke 3 curug bagian atas. Untuk mendekati curug, Revan dan guide turun ke bawah sementara saya di atas mengambil foto karena tidak bisa membawa kamera ke bawah. Sementara Revan di bawah, saya mengambil beberapa foto dari atas. Hanya sekitar 10 menit kemudian Revan naik kembali dan kamipun kembali ke tempat berkumpul untuk guide kami memberi tips Rp. 50.000. Sehabis makan siang di warung kecil damping pemandian/kolam air panas kemudian kami melanjutkan perjalananan berikutnya, yaitu ke Kawah Sikidang, salah satu ikonnya pariwisata Dieng.
Curug Sirawe tingkat 2
Curug Sirawe tingkat 2
Curug Sirawe tingkat 2
Info:
Nama    : Curug Sirawe
Lokasi   : Kampung/Dukuh Bitingan, Desa Kepakisan
                Dieng Banjarnegara-Jawa Tengah
Biaya:   : free, guide sewajarnya


Labels: , , , , , , ,

Sunday, April 28, 2019

Jelajah Jawa Tengah Bagian 2: Candi Dwarawati dan Kawah Sileri

Sekitar jam 10 pagi, dari Curug Cibelik kami melanjutkan perjalanan ke Dieng yang diperkirakan memakan waktu sekitar 1.5 jam. Melewati perkebunan teh, kemudian memasuki area hutan-hutan dengan jalan yang masih beraspal bagus. Selanjutnya melewati jalan yang lumayan jelek, berbatu-batu dan lobang. Namun mengingat jalur Batang ini adalah jalur terdekat dari Jaakarta ke Dieng. Meskipun jalannya jelek tapi pemandangan sangatlah bagus. View pegunungan dan kebun-kebun sayuran serta perkampungan yang tersebar di gunung-gunung di sepanjang jalan sangatlah memanjakan mata.

Jalur dari Batang ini berakhir di pertigaan jalan utama Dieng. Sebagai catatan, Dieng ini bukan merupakan nama sebuah kecamatan atau kota, ini adalah sebutan untuk dataran tinggi sepert di Puncak-Bogor. Sebagian besar Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) masuk wilayah Banjarnegara dan sebagian kecil masuk wilayah Wonosobo.

Hal pertama yang kami lakukan di Dieng tentu saja mencari penginapan. Setelah tanya dan telpon sana sini akhirnya dapat penginapan ala jejepangan dekat Mesjid di pinggir jalan. Homestaynya lumayan luas dan terdapat 3 tempat tidur yang digelar sehingga dapat menampung kami berlima. Sewanya Rp. 300.000/malam. Setelah menaruh barang-barang, yang pria melanjutkan sholat Jum’at. Sayangnya habis Jum’at hujan turun hingga Subuh sehingga kami tidak bisa kemana-mana di hari pertama ini.
Jumatan di mesjid ini yang berada di pinggi jalan raya
Suasana Dieng
Sebagai catatan, sebagai salah satu wilayah yang terdingin di Indonesia, persiapkan pakaian dan perlengkapan seperti jas, kaos kaki, sarung tangan/kupluk bila perlu karena Dieng sangat dingin di malam hari hehehhe.
Hari kedua di Dieng. Pagi-pagi kami jalan-jalan sambil makan pagi. Nah di sepanjang jalan apalagi di landmark Dieng banyak sekali yang jual sarapan seperti sate, bubur ayam dan makanan tradisional lainnya. Banyak sekali turis yang jalan pagi sambil mencari sarapan pagi.
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng
Cari sarapan di sekitar landmark Dieng
Selanjutnya mengunjungi daerah tujuan wisata, meskipun tidak akan terkunjungi dalam waktu 2 hari. Tujuan wisata yang terdekat adalah Candi Dwarawati.
Candi Dwarawati terdapat di lereng Gunung Prau. Untuk menuju jalan ini bisa mengikuti petunjuk arah yang ada di jalan utama. Memasuki jalan kecil yang berjarak sekitar 1-2km dari jalan utama kita harus parkir di lahan milik penduduk lokal karena candi ini tidak dikelola secara komersial. Jadi jangan harap di sini ada loket, penjual makanan/cenderamata, tempat istirahat ataupun toilet.

Dari parkir kemudian kita jalan kaki sekitar 100m, ke atas bukit yang tidak terllau tinggi. Hari itu adalah jadwal pembersihan candi, terlihat 2 orang petugas bersiap-siap akan membersihkan candi dengan menggunakan water jet beserta tangga. Komplek candi ini dikelilingi oleh pagar setinggi 1m. 

Meminta ijin masuk komplek candi kepada petugas, terlihat hanya kami pengunjung yang datang. Sepertinya candi ini tidak cukup menarik minat wisatawan. Berbeda dengan nama-nama candi di Dieng yang memakai nama tokoh Mahabratha, Dwarawati bukanlah nama tokoh tapi merupakan nama kota di sebuah kerajaan India karena bentuk candi ini mirip candi-candi yang ada di India.
Candi yang dibersihkan oleh petugas jaga
Candi Dwarawati berbentuk tunggal. Di kiri kanan terdapat reruntuhan candi. Di candi ini juga tidak terdapat arca yang umumnya kita temukan di candi-candi, konon arca-arca nya disimpan di Museum Kailasa (dekat komplek Candi Arjuna) untuk diselamatkan dari pencurian. Karena berada di ketinggian, pemandangan di sini sangat indah, melihat perkebunan sayuran/kentang dan perbukitan yang mengelilinginya. Tidak ada salahnya kalau kalian ke Dieng silahkan mampir ke candi ini.
Blue Team goes to Candi Dwarawati
Blue Team goes to Candi Dwarawati
Ada Apa Dengan Kamu..!
Dari candi kami kemudian mengarah ke Kawah Sileri. Meskipun sempat nyasar dan bertanya ke penduduk lokal akhirnya kami sampai di kolek wisata dimana di sini terdapat petunjuk arah ke komplek Candi Arjuna, Kawah Sikidang dan Kawah Sileri. Kebetulan petunjuk arah ke kawah Sileri searah dengan Curug Sirawe. Sementara ke Kawah Sikidang searah dengan Candi Arjuna.

Dari pertigaan ke kanan, pemandangannya berupa kebun-kebun sayur dan lokasi pembangkit-pembangkit listrik tenaga panas bumi. Maklum di sini banyak sekali sumber tenaga panas bumi. Jadi tidak heran kalau di sini banyak terdapat pipa-pipa penyalur panas bumi.

Akhirnya sampai di sebuah tempat pemandian air panas yang tempat parkirnya juga merupakan lokasi parkir ke Kawah Sileri. Setelah bayar tarif parkir Rp. 5.000 kami mendapatkan info bahwa Kawah Sileri di tutup. Karena tidak bisa mendekati area kawah akhirnya kami cuman bisa melihat kawah dengan mengggunakan drone. 

Dibandingkan dengan Kawah Sikidang, area kawah aktif Kawah Sileri lebih luas. Tidak tahu mengapa area ini ditutup untuk kunjungan mungkin karena alasan keselamatan. Yang jelas area ini pernah dibuka karena masih terlihat sisa-sisa saung atau tempat beristirahat pengunjung.


Dari parkiran yang di kelilingi oleh pagar kawat kami hanya bisa menyaksikan Kawah Sileri dari jauh. terlihat asap putih dari kawah. Nah walaupun namanya kawah, seperti juga Kawah Sikidang, Kawah Sileri juga tidak mengandung lava atau magma seperti yang ada di kawah gunung-gunung berapi umumnya. Seperti namanya Kawah Sileri berwarna putih (leri=air bekas cucian beras).


Untuk melihat lebih dekat, maka kami menggunakan drone. Dari drone kita bisa melihat penampakan kawah dari atas dan juga pemandangan yang ada di sekelilingnya. Meskipun ada kawah, di sekeliling nya terdapat ladang-ladang sayuran penduduk. Hanya saja, kita harus berhati-hati karena jika kadar sulfur dari asap kawah melebihi ambang batas yang boleh kita hisap, maka akan berakibat fatal.

Kawah Sileri dari atas

Kawah Sileri dari atas
Setelah mengambil beberapa foto, kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Curug Sirawe yang berada di Kampung Bitingan yang berjarak sekitar 2 km dari Kawah Sileri.

Baca juga link terkait:
- Curug Sirawe

Labels: , , , , , , ,