Friday, May 3, 2019

Jelajah Jawa Tengah Bagian 5: Batu Pandang Ratapan Angin

Hari ketiga yang berati cuman 2 malam kami di Dieng. Pagi-pagi sebelum jam  7 kami sudah checkout dari penginapan. Tujuan selanjutnya adalah Baturaden. Namun sebelum itu kami mampir dulu ke Batu Pandang Ratapan Angin dan spot ini  satu arah ke Baturaden via Wonosobo. Dari penginapan ke Batu Pandang ini cuman berjarak sekitar beberapa kilo saja dari penginapan. 

Dari penginapan kami melewati persimpangan (salah satu jalan) menuju Kawah Sikidang yang ada di sisi kanan. Tidak jauh dari perimpangan ini kita sudah menemukan parkiran jika ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang berada di sisi kanan jalan dan loket ke telaga-telaga tersebut di seberang jalan/sisi kiri. Karena kami tidak berencana ke danau, kami melanjutkan perjalanan ke arah Batu Ratapan yang tidak begitu jauh dari danau.

Masih jam 7 kurang kami sampai di parkiran. Dari sini kita bisa melihat Kawah Sikidang di kejauhan, yang terlihat jelas dengan ciri khasnya, bebatuan dan asap mengepul berwarna putih. Belum terlihat adanya pengunjung dan warung-warungpun masih berkemas untuk buka. Untuk HTM kami bayar Rp. 10.000 per orang dan parkir mobil Rp. 5.000. Selanjutnya menaiki tangga-tangga yang berada di lorong-lorong di celah bebatuan besar. Di kiri kanan terdapat ladang-ladang kentang dan sayur dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong di antara bebatuan.
Menuju spot foto
Hanya sekitar 100m kami sudah sampai di atas bukit di salah satu icon yang membuat Dieng dikenal wisatawan dalam dan luar negri, yaitu Batu Pandang Ratapan Angin. Di atas ternyata sudah ada beberapa pengunjung. Di atas yang merupakan formasi batu-batu gunung.

Dari atas ini kita di suguhi pemandangan yang menakjubkan dari semua sudut. 2 telaga yang menjadi titik sentral yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Telaga-telaga ini di kelilingi oleh pepohonan topis dengan latar pegunungan. Melempar pandangan ke sekeliling terlihat rumah-rumah dan ladang-ladang di kaki-kaki dan lereng-lereng gunung.hijau nya pemandangan membuat hati dan jiwa lebih adem dan mata menjadi lebih segar (menurut pendapat para ahli hahaha....).
Salah satu sudut Batu Pandang
Salah satu sudut Batu Pandang
Tujuan kami sebenarnya ke sini adalah berfoto di Batu Pandang dengan latar belakang Telga Wana dan teaga Pengilon,2 telaga yang berdampingan. Meskipun berdampingan, air di kedua telaga tersebut berbeda warna. Telaga Warna berwarna hijau lumut sementara Teaga Pengilon berwarna coklat kehitaman. Telaga Pengilon mengandung sulfur sehingga tidak ada ikan yang hidup di sana.
Batu Pandang yang menjadi spot foto sebenanya sebuah batu yang agak menjorok di sisi tebing dengan atasnya agak rata sehingga pengunjung bisa duduk dan berdiri. Di butuhkan sedikit keberanian untuk ke batu ini dan buat kalian yang takut ketinggian tidak di sarankan naik. Karena merupakan spo favorit, pengunjung harus bergantian berfoto, makanya kami ke sini jam 7 sehingga belum banyak pengunjung ke sini.

Satu persatu kami bergantian berfoto. Dan selagi berfoto, jumlah pengunjung makin bertambah (karena hari Minggu) dan membuat kami harus buru-buru mengambil foto karena harus gantian.
Spot foto di atas Batu Ratapan
Spot foto di atas Batu Ratapan
Saya mencoba mengambil foto dari atas/drone sehingga bisa mendapatkan view dari ketinggian. Dengan drone saya bisa mengambil foto Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas serta pemdangan di sekelilingnya.
Telaga Warna dan Telaga Pengilon
Untuk spot foto berikutnya ada di sebelah kanan berupa Batu Ratapan Angin, berupa tebing gunung juga spot foto berupa balon udara (berbayar). Sebenarnya di sini juga ada flying fox dan mountain bike/sepeda gantung seperti di Lodge Maribaya. Untuk sepeda ini ada di bawah dekat parkiran.
Salah satu spot foto
Salah satu spot foto
Menyudahi kunjungan di Batu Pandang ini kami tutup dengan sarapan pagi di sebuah warung diantara banyak warung dekat parkiran. Murah meriah dan lumayan mengganjal perut selama perjalanan berikutnya ke Baturaden.
Salah satu cemilan di sini, kentang dan goreng jamur
Perjalanan dari Dieng ke Baturaden yang masih di Jawa Tengah mengambil arah yang berlawanan sewaktu datang yaitu ke arah Wonosobo. Rute yang kami lewati melewati jalan-jalan yang berkelok-kelok di antara perbukitan, melewati kebun-kebun sayur. Di sebelah kiri kita bisa melihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang berdiri gagah.
Selain berbelok-belok, jalur ini juga berupa turunan panjang. Jika kita dari Wonosobo tentulah akan melewati jalan mendaki. Perlu diperhatikan kondisi kendaraan ketika melewati jalur ini. Ini terlihat beberapa truk yang mogok dan tidak kuat mendaki.

Melewati terminal Wonosobo yang ramai, jalanan agak macet. Di terminal inilah biasanya traveler berganti mobil angkutan untuk menuju Dieng karena bis-bis besar tidak diperbolehkan ke atas, selain kondisi jalan yang mendaki panjang juga karena jalannya kecil.

Sampai di Banjarnegara, menyusuri jalan yang ada di sepanjang sungai Serayu. Daerah in terkenal sebagai salah satu sentra durian. Sepanjang jalan ini banyak sekali kita temukan pedagang duren dan es dawet juga tentunya. Di salah satu apak duren kami berhenti untuk menikmati duren Banjarnegara. Duriannya tergolong murah, dari harga Rp. 15.000 sampai termahal Rp. 30.000, dengan daging durian tebal dan bijinya yang kecil dan rasanya yang enak, harga tersebut sangatlah murah.

Labels: , , , , , , ,

Wednesday, June 13, 2018

Merasakan sejuknya Curug Dengdeng dan Telaga Warna

2 Juni 2018

Curug Dengdeng
Pengembaraan mencari curug kali ini mengantarkan kami ke Curug Dengdeng yang ada di Desa Sukatani, Cipanas-Cianjur. Curug ini mungkin kedengaran asing di telinga traveler khususnya pencari curug/air terjun.

Dari Bogor saya dan Revan, menggunakan motor, berangkat sekitar jam 7 pagi. Cuaca sangat cerah dan jalanan Puncak sepi yang biasanya padat di setiap weekend, tentu saja karena bulan puasa :D. Meski begitu jalanan masih sempat tersendat di sekitar Pasar Cisarua.
Menyusuri jalanan Puncak yang berkelok-kelok dengan pemandangan pegunungan dan perkebunan teh disana-sini serta udara yang sangat sejuk membuat paru-paru berasa segar. Selepas Puncak Pass, memasuki Cipanas, cuaca berubah drastis, cuaca yang tadinya cerah berganti dengan awan gelap meski tidak turun hujan.

Sesudah Pasar Cipanas, pas di samping Istana Cipanas, yang meupakan patokan untuk menuju curug ini, kami ambil jalan kanan, ke arah terminal dimana banyak angkot-angkot berwarna kuning ngetem di sini. Menyusuri jalan di samping pagar Istana, tidak beberapa jauh kemudian dipertigaan ambil jalur kanan, masih menyusuri pagar belakang Istana. Dari sini kondisi jalan terus menanjak.
Jalan menuju Desa Sukatani
Sepanjang jalan di kiri-kanan terlihat ladang-ladang aneka sayur seperti sawi, kailan, lobak, wortel, dll. Tidak salah kalau Cipanas menjadi pemasok utama sayur dan buah-buahan untuk kota-kota di sekitarnya terutama Jakarta. Hampir tidak terlihat ada lahan menganggur, semua terisi oleh kebun sayur. Sangat produktif….!!!. Dan dijalan juga terlihat hilir mudik mobil dan motor membawa hasil bumi.

Setelah menempuh jalan menanjak sekitar 6km, mengandalkan Maps dan penduduk lokal kami ditunjukkan jalan masuk melewati gang-gang sempit hingga sampai disalah satu warung yang menjadi tempat parkir. Tidak ada tiket masuk di sini, dan tarif parkir juga seiklasnya.

Masuk gang-gang
Masuk gang-gang
Dari sini kami harus trekking. Melewati jalan setapak di antara ladang sayur suasana desa sangat terasa sekali. Terlihat petani-petani bekerja di ladang. Dan dikejauhan terlihat Gunung Gede Pangrango berselimut awan dan kabut.
Kebun sayuran sepanjang jalan menuju curug
Kebun sayuran sepanjang jalan menuju curug
Sampai di petunjuk arah, kami mulai menuruni bukit. Kondisi jalan setapak ini lumayan ekstrim karena berada disisi bukit yang bawahnya merupakan lembah. Kondisi tanahnya rawan longsor, sebagaimana kita ketahui karena perbukitan di sini sudah beralih fungsi menjadi ladang. Tapi masih beruntung karena di bagian lembah masih berupa hutan, meski masih terlihat petak-petak ladang sayuran.
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng
Menuruni bukit menuju Curug Dengdeng
Terdapat satu titik longsor ketika kami ke sini, pohon berukuran sedang menghalangi jalan dan belum dibersihkan. Melewati aliran sungai yang tidak begitu dalam tapi sangat dingin, jarak tempuh hanya tinggal sekitar 50 meteran. Dan semua lelah akan terbayarkan ketika dari balik sebuah pohon besar kami melihat curug yang dituju, Curug Dengdeng. 
Cuurg Dengdeng di kejauhan
Curug ini benar-benar diluar perkiraan saya. Curug ini ternyata sangat tinggi. Meski tidak ada referensi yang akurat, saya memperkirakan curug ini tingginya sekitar 80-100 meter. Terdiri dari curug utama dan beberapa curug kecil. Meski debit airnya tidak terlalu besar tapi tidak mengurangi kecantikan curug ini. Karena tinggi, area di sekitar curug tidak lepas dari tampias dan selalu basah. Karena area didepan curug terbatas, jadi hampir dimana saja kita berdiri akan kena selalu kena tampias hahahhaa. Jadi buat yang membawa HP atau kamera DSRL harap berhati-hati dan lindungi dari tampias.
Curug Dengdeng yang menakjubkan
Curug Dengdeng yang menakjubkan
Curug Dengdeng yang menakjubkan
Kecantikan curug ini ditambah lagi dengan taanaman-tanaman merambat atau pohon-pohon kecil yang menempel di tebing yang menjulang dengan kemiringan 90 derajat.
Karena tidak berniat mandi di curug ini, kami hanya mengambil foto-foto. Untuk mendekati curug kita bisa mengambil tebing yang ada di sisi kiri. Di sini terdapat area yang rata sehingga kita bisa mengambil foto curug dari samping. Dan tentu saja harus rela berbasah-basah.
Curug Dengdeng dari sisi kiri
Curug Dengdeng dari sisi kiri
Curug Dengdeng dari sisi kiri
Hanya saja, karena tidak dikelola, terdapat sisa-sisa sampah dari pengunjung meski tidak terlalu banyak. Semoga kedepannya tempat ini dijaga kebersihan dan tetap asri.

Telaga Warna
Pulang dari Curug Dengdeng kami mampir di Telaga Warna yang berada di kawasan Puncak dan sudah masuk wilayah Bogor.

Tidak perlu diragukan lagi, kalau kita melewati area Puncak sampai ke Cianjur pastilah melewati objek wisata ini karena papan petunjuknya sangat jelas di pinggir jalan.
Memasuki gerbang, kami kemudian membayar tiket masuk Rp. 25.000 per orang. Begitu memasuki gerbang, kami sudah disambut oleh banyak monyet yang jinak dan seolah menunggu makanan. Setelah parkir di lokasi parkir khusus motor yang juga berada di perkebunan teh. Tidak terlalu jauh jalan, kita sudah sampai di Telaga Warna. 
Jalan masuk ke Telaga Warna
Berfoto di perkebunan teh
Telaga Warna ini tidak terlalu luas, berada di kaki bukit dikelilingi oleh hutan perawan, pemandangan kontras dengan area puncak yang sudah terekploitasi dengan banyaknya perkebunan, villa dan rumah. Terlihat juga beberapa penginapan/cottage dipinggir telaga. Hanya saja saya tidak tahu apakah masih disewakan atau tidak karena saat itu jalan masuk ke area cottage tertutup.

View Telaga Warna
View Telaga Warna
View Telaga Warna
View Telaga Warna
View Telaga Warna
Seperti di Uluwatu, di sini sangat banyak monyet-monyet yang jinak dan hidupnya sudah tergantung dari belas kasihan pengunjung. Saking jinak atau ‘kurang ajar’ mereka tidak segan-segan membuka tas dan memeriksa saku-saku pengunjung atau beberapa dari mereka loncat ke tubuh pengunjung dan ‘menggeledah’nya. Malah ada minuman pengunjung yang di rebut oleh monyet-monyet ini.
Monyetnya nakal-nakal
Monyetnya nakal-nakal
 
 
Di sini terdapat kantin yang tutup selama bulan puasa, dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana makan di sini dengan dikelilingi oleh monyet-monyet yang perilakunya sudah uncontrolled ini?

Tidak terlalu lama kami disini, mungkin sekitar 1 jam untuk melepas lelah dan kemudian melanjutkan perjalanan pulang, menikmati suasana Puncak yang sepi dan jarang sekali ditemui.

Labels: , , , , , , , , ,