Thursday, June 27, 2019

Jelajah Ciletuh-Pelabuhan Ratu Geopark Bagian 12: Curug Penganten, Curug Cibelener dan Curug Cihuru

Dari Curug Nangsi kami menuju ke daerah sekitar Pantai Palangpang yang menjadi pusat Ciletuh-Pelabuhan Ratu Geopark. Sepanjang jalan menuju area pantai, diperbukitan terlihat hamparan kuning, mirip perbukitan Teletubbies. Jangan salah, ini bukan rumput atau ilalang tapi padi huma, yaitu padi yang ditanam bukan di sawah yang selalu tergenang air. Padi-padi Penganten. Berkeliling area sepanjang pantai akhirnya kami memutuskan pilihan di sebuah penginapan di pinggir jalan yang tidak begitu jauh dari Pantai Palangpang. Penginapannya terbuat dari kayu dengan tarif Rp. 250.000/malam. Kami book untuk 3 malam. Karena masih hujan kamipun hanya beristirahat di kamar.
Curug Penganten
Pagi-pagi sekitar jam 7 kami sudah bersiap menuju Curug Penganten. Curug ini berada di desa Mekarjaya-Ciemas yang berjarak sekitar 20km dari Pantai Palangpang. Pagi itu cuaca berawan namun kami tetap melanjutkan perjalanan. Dari Pantai Palangpang kami enuju ke arah Curug Cimarinjung, setelah tanjakan tidak berapa jauh nanti ada pertigaan, kalau lurus ke Puncak Darma, ke kanan ke Mekarjaya. Ambil ke kanan ini jalannya berupa cor-coran bukan aspal pada umumnya. Tanjakannya di sini sangat tajam tajam dan berbelok-belok tapi untunglah hampir tidak ada kendaraan saat itu. Dibandingin ke uncak darma, tanjakan di sini lebih ekstrim jadi kalau kalian bawa mobil ke arah ini harap diperhatikan kondisi kendaraannya.

Meskipun berbahaya tapi pemandangan di sini sangat bagus, di sinilah terdapat Puncak Aher (eks Gubernur Jawa Barat yang banyak berjasa pada kemajuan Geopark ini). Puncak Aher lebih tinggi dibanding Puncak Darma, di sini pemandangannya lebih luas, bukan hanya pantai tapi juga pegunungan dan lembah.
Melewati Puncak Aher terus ke atas melewati perkampungan, kiri kanan terlihat sawah huma yang mulai menguning yang tadinya saya kira ilalang (padi yang ditanam di perbukitan bukan sawah). Hampir 2/3 perjalanan tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat dan terpaksa berteduh di sebuah warung yang ada di pertigaan di area hutan karet.cukup lama menunggu hujan reda dan kami berkenalan dengan seorang bapak yang mau ke ladangnya dan mendapatkan info mengenai Curug Penganten.
Setelah hujan agak reda, kami mengikuti si bapak, memasuki jalan membelah hutan karet sampai ke area perbukitan yang banyak ladang-ladang dan padi huma. Wilayah ini sangat sepi, sangat langka sekali untuk melihat satu rumah aja. Sampai di suatu pertigaan kami berpisah dan kami memasuki area jalan desa berupa bebatuan. Melewati jalan bebatuan ini awalnya masih terlihat satu dua rumah penduduk lama-lama tidak terlihat rumah sama sekali. Memasuki jalan yang hanya cukup untuk satu motor kemudian menaiki bukit, karena jalannya licin dan berlumpur, kadang-kadang kita harus turun dari motor dan di dorong. Sampai di sebuah saung yang ternyata tempat pembuatan aren tradisional kami berteduh karena tiba-tiba hujan kembali turn dengan lebatnya. 
Kondisi jalan desa
Kondisi jalan desa
Kondisi jalan menjelang parkiran
Setelah hujan turun agak reda kami menuju ke Curug Penganten yang berjalan beberapa puluh meter saja sudah terlihat dari jauh, coklat keemasan. Fantastic... !!!. Menuruni terasering sawah yang membuat kami nyasar dan di antar oleh seorang ibu melewati jalur sUemak-semak (seharusnya ada jalur lain) menyusuri alur sungai. Di antar sampai ke jembatan yang melintasi sungai si ibu berpesan agar nanti pulangnya melewati jalan setapak yang ada di atas. Melewati jembatan kemudian berjalan sekitar 100m. perlu pengorbanan untuk mendekati curug ini karena akses jalan dan areanya sudah terbengkalai.
Menuju Curug Penganten
Melintasi jembatan
Jalan ke arah curug
Memanjat bukit hingga sampai di area pinggir curug terlihat saung-saung yang sudah hancur. Curug Penganten tertutup oleh pepohonan besar. Untuk melihat curug ini secara utuh  kita harus menuju aliran sungai yang dasarnya berupa batu cadas. Dari depan terlihat keperkasaan curug ini. Seperti mengamuk, debit airnya sangat besar dan bergemuruh. Jatuh dari ketinggian sekitar 30m membentuk tampias dan angin. Airnya berwarna coklat keemasan akibat hujan terus menerus, sesuai nama daerahnya Ciemas yang bearti air emas/air yang berwarna emas.
Curug Penganten saat hujan
Curug Penganten saat hujan
Aliran curug ini jatuh membentuk niagara kecil sepanjang lebarnya sungai dan mengalir ke sungai yang juga aliran dari Curug Cibelener yang terlihat dari jauh. Meskipun berbeda aliran, Curug Cibelener juga berwarna keemasan akibat hujan. Curug Cibelener ini mempunya dua tingkatan dengan debit yang besar. Sebenarnya pengunjung bisa mendekati curug ini, hanya saja untuk saat itu tidak memungkinkan karena arus sungai yang deras. Berbeda dengan Curug Penganten yang berada di tebing tebuka, Curug Cibelener berada di celah lembah sehingga diperlukan usaha tambahan untuk mencapai curug ini.
Curug Cibelener dari kejauhan
Curug Cibelener
Tadinya kami berniat menerbangkan drone untuk melihat view kedua curug ini dari atas cuman sayang kami tidak mendapat sinyal GPS sama sekali. Maklum areanya sangat terpencil dan jauh dari mana-mana.
Setelah puas mengambil foto-foto curug ini yang sudah menggunakan DSRL karena tampiasnya yang membuat basah lensa, kamipun kembali ke parkiran dan melewati jalan yang tadi disarankan oleh ibu yang di sawah. Dari jembatan kayu, kami mengambil jalan naik hingga mencapai jalan setapak. Di pinggir jalan setapak terdapat saluran irigasi kecil. Berjalan memutari bukit hingga sampai di dekat Curug Cihuru. Berbeda dengan dua curug sebelumnya, Curug Cihuru airnya jernih. Kalau dilihat dari jauh, curug ini bertingkat-tingkat hanya saja area disekitar curug ditutupi oleh pepohonan sehingga tidak terlihat keseluruhan. Dari sini jalan setapak berakhir di sawah bagian atas dan sudah dekat parkiran. Jadi kalau kalian mau ke Curug Penganten sebaiknya melewati jalur ini.
Jalan pulang beda dengan jalan datang
Curug Cihuru yang tertutup pepohonan
Info:
Nama  : Curug Penganten, Curug Cibelener dan Curug Cihuru 
Lokasi  : Desa Mekarjaya, kec. Ciemas-kab. Sukabumi 
Biaya   : gratis
Baca juga link terkait:
- Curug Sodong, Curug Ngelay, Curug Ciateul, Curug Cikanteh, Curug Cikawung dan Pantai Palangpang 
- Curug Nangsi, Curug Cikupa dan Curug Cibenda-Waluran
- Curug Luhur-Ciracap
- Pantai Tenda Biru, Pantai Cibuaya dan Pantai Pangumbahan-Ujung Genteng
- Pantai Pasir Putih-Ujung Genteng

Labels: , , , , , , , , ,

Tuesday, May 7, 2019

Jelajah Jawa Tengah Bagian 6: Curug Jenggala dan Curug Penganten

Tujuan wisata kami kali ini adalah Baturaden yang masih berada di Jawa Tengah. Baturaden ini adalah sebuah kecamatan yang berada di kabupaten Banyumas, berbatasan dengan Purwokerto. Jadi kalau ke Baturaden pastilah kita akan melewati Purwokerto.

Melewati perbatasan Purwokerto-Baturaden sudah agak sore. Karena sekarang bukan weekend jadi Baturaden ini sangat sepi. Bearada di lereng Gunung Slamet, suasana di sini mirip dengan Puncak di Bogor. Hanya saja, Puncak sangat ramai karena menjadi daerah perlintasan ke kota-kota lain. Sementara Baturaden adalah daerah pegunungan yang tidak dilalui kendaraan-kendaraan yang menuju kota-kota sekitarnya sehingga hanya ramai ketika liburan.

Hal pertama ketika sampai tentulah mencari penginapan yang banyak berada di kiri-kanan jalan utama. Setelah keluar masuk beberapa penginapan dan hotel akhirnya pilihan jatuh di sebuah hotel/resort yang berada tidak begitu jauh dari Hutan Raya Baturaden dan cuman berjarak sekitar 100m dari Curug Pinang. Suasana hotel ini sangat asri, seperti berada di hutan, meskipun begitu tarifnya sangat murah, Rp. 185.000/malam dengan kamar yang lumayan luas dan 2 tempat tidur. Hanya saja, ketika malam agak susah mencari makan, walaupun ada tapi tidak terlalu banyak.

18 Februari 2019
Hari kedua di Baturaden. Tujuan pertama kami di sini adalah Curug Jenggala. Curug ini berada di Kp.Kalipagu, Desa Ketenger. Dari Hutan Raya tidak terlalu jauh. Sebenarnya curug ini berada di bawahnya Pancoran 7 yang berada di area Hutan Raya kalau melihat Maps kadang-kadang di arahkan ke sana sehingga kami sempat nyasar.

Kalau kita dari arah Purwokerto, terdapat petunjuk arah ke kiri ke Kalipagu yang jaraknya sekitar 2-3km. mengikuti jalan desa yang kecil dan naik turun sampailah kita di sebuah sungai yang melintasi jalan. Terdapat parkiran, yang merupakan parkiran Curug Bayan yang terlihat dari jalan. Dari Curug Bayan ini kita terus ke atas melewati jalan yang cukup buat 1 mobil dan menanjak. Di akhir jalan kami sampai di depan warung dan parkir di depan warung yang cukup buat 1 mobil. Untuk ke loket Curug Jenggala ada 2 opsi yaitu jalan kaki atau naik ojeg. Karena mau cepat, kami memilih naik ojeg dan pulangnya jalan kaki. Ongkos ojeg ke loket curug Rp. 10.000.

Menurut info bapak yang jaga warung,di atas Curug Jenggala ada Curug Penganten yang jalannya masih alami sehingga di perlukan guide dan si Bapak yang akan menjadi guide kami. Rute ojeg yang kami lalui, meskipun tidak terlalu jauh tapi lumayan menegangkan. Melewati jalan batu, menyusuri jalur pipa PLTA Ketenger, melewati turunan ekstrim hingga melewati jembatan kecil. Sampai di loket kami cukup membayar tiket Rp. 5.000/orang saja. Murah sekali ya..... Nah loket ini berada dekat kolam/bendungan PLTA Ketenger, mirip kolam buat PLTA Kracak di Bogor.
Kolam penampungan PLTA Ketenger
Sampai di loket, cuaca sudah mulai gerimis kecil. Melewati jembatan, kemudian naik bukit dan mengambil jalan lurus (kanan ke arah Pincuran 7/Hutan Raya Baturaden). Dari sini ke Curug Jenggala tidak terlalu jauh hanya sekitar 100m saja. Sampai di area curug terlihat hanya beberapa pengunjung saja.


Curug Jenggala bisa langsung kita liat nikmati dari atas. Di seberang lembah terlihat aliran curug dengan debit besar dan jatuh melewati bebatuan dan membentuk beberapa aliran. Meskipun tidak terlalu tinggi, sekitar 15m namun curug ini sangat istimewa. Selain debitnya yang tinggi juga karena airnya sangat jernih karena bersumber langsung dari  rimbunnya hutan Gunung Slamet. Aliran curug ini juga menjadi sumber dari air untuk PLTA Ketenger selain dari aliran Pincuran 7.

Di pinggir lembah terdapat spot foto yang menjadi icon nya Curug Jenggala ini yaitu selfie deck yang berbentuk hati yang terbuat dari kayu. Karena lagi weekday dan pengunjung bisa di hitung jari, jadi kita bisa berfoto sepuasnya. Dan untuk menuju ke bawah, tersedia tangga-tangga beton tapi sebelumnya kami harus ke Curug Penganten jadi ke bawah akan dilakukan sekembalinya dari Curug Penganten.
Curug Jenggala dari spot foto atas
Curug Jenggala dari spot foto atas

Untuk ke Curug Penganten ini, kalo kalian belum pernah ke sini sangat disarankan membawa guide kalo tidak ingin tersesat. Ingat bahwa area ini adalah area hutan di lereng Gunung Slamet. Dan jalur trekking berupa jalur hutan yang jarang di lewati, karena ada beberapa titik dimana kita harus melintasi sungai/anak sungai sehingga akan membingungkan kalau tidak bersama guide. Trek di hutan Perhutani ini adalah hutan tropis basah, meskipun tidak terlalu terjal namun panjang sehingga cukup menguras tenaga.
Trek Curug Penganten
Trek Curug Penganten
Trek Curug Penganten

Sekitar 45 menit trek di area yang rata yang dipenuhi semak-semak khas hutan tropis kami melihat Curug Penganten di antara pepohonan. Meskipun dari jauh sudah terlihat kemegahan curug ini, debit besar dan sangat tinggi. Karena curug ini ada 2 dan bergandengan makanya di sebut Curug Penganten. Nah, curug aja gandengan, masak kamu tidak?
Curug penganten dari jauh
Curug penganten dari jauh

Untuk ke bawah, mendekati curug, kita harus melewati jalan kecil di pinggir tebing. Di sini kita harus hati-hati selain jalannya sempit juga sangat licin. Karena curugnya sangat tinggi dan debitnya besar maka area di sekitar curug selalu basah terkena tampias
Curug Penganten dari atas
Curug Penganten dari atas
Curug Penganten dari atas

Sebelum ke area sungai, kita bisa berfoto di salah satu spot dengan latar belakang Curug penganten. Dari area ini tinggal beberapa meter lagi hingga sampai ke bawah melewati bebatuan licin.
Salah satu spot foto
Salah satu spot foto

Sampai di bawah, terasa sekali hempasan curug ini menimbulkan terpaan angin yang kuat. Airnya sangat jernih dan dingin. Untuk menikmati curug ini sebaiknya jangan terlau dekat cukup berada di pinggir kolamnya aja. Belum pernah saya berada sedekat ini dengan curug yang besar dan area kolamnya yang sempit.
Berada dekat curug
Berada dekat curug


Berada dekat curug



Di sini kami cukup lama bermain air meskipun cuman berdiri tapi tampiasnya sudah berasa berada di bawah air terjun. Dan kami selesai bermain air karena cuaca sudah mulai tidak bersahabat alias hujan.


Kembali ke Curug Jenggala dalam kondisi hujan lebat. Menggunakan jas hujan untuk melindungi barang bawaan dan dinginnya air hujan. Meskipun hujan, waktu tempuh lebih cepat dibanding ketika berangkat.
Trek kembali dari Curug Penganten

Sampai di Curug Jenggala, kami turun ke arah sungai. Terdapat jembatan bagi pengunjung sampai ke seberang. Karena arusnya sangat deras, kami tidak bisa mendekati curug dan hanya berada di pinggir sungai.
Curug Jenggala dari depan


Curug Jenggala dari depan


Karena hujan, saya tidak sempat berenang di Sendang Candrakirana, yaitu kolam yang mempunyai air terjun kecil. Selanjutnya kembali ke loket depan dan beristirahat di sebuah warung. Karena hujan masih lebat, sambil menunggu reda kami menikmati makanan kecil seperti mie instant dan gorengan.
Sendang Candrakirana saat hujan lebat
Begitu hujan mulai sedikit reda, masih gerimis kami melanjutkan perjalanan ke parkiran jalan kaki.di kejauhan, di puncak bukit terlihat curug yang lumayan besar yang hanya muncul ketika hujan, padahal tadi kami tidak melihatnya.


Sampai di parkiran, bersih-bersih di rumah pemilik warung. Pulangnya kami berencana mampir di Curug Bayan, tapi ternyata curugnya berair keruh karena hujan lebat dan kamipun lanjut ke penginapan.
Trek pulang
Trek pulang
Trek pulang
Baca juga link terkait:
- Batu Pandang Ratapan Angin
- Kawah Sikidang, Padang Savana dan Kompleks Candi Arjuna

Labels: , , , , , , , , , ,

Friday, December 14, 2018

The Unexpected Journey 1: Curug Lalay, Curug Penganten dan Curug Dempet


Perjalanan kali ini benar-benar di luar rencana. Awalnya, berempat sudah sepakat menggunakan mobil akan ke Curug Cigentis di Karawang dan Green Canyon di Cariu-Bogor seminggu setelah berkemah di Cidahu. Berangkat Sabtu 29 September dan menginap/berkemah di area Curug Cigentis. Tapi menjelah hari H, 2 teman mengundurkan diri dan jadilah cuman saya dan Revan yang akan berangkat. Akhirnya di sepakati tidak jadi berkemah, dan kami berangkat hari Minggu dengan rute Green Canyon dan selanjutnya ke Curug Cigentis dengan menggunakan motor.
Berangkat dari Bogor pagi-pagi sekitar jam 6-an yang bearti jalan belum begitu ramai. Rute yang kami ambil yaitu Jalan Baru menuju Cibinong. Melewati perempatan flyover, memasuki Citeureup ke arah kiri hingga sampai pasar dan ikutin terus sampai ke Gunung Putri (gerbang tol Gunung Putri). Memasuki jalan Raya Narogong dimana terdapat Pabrik Semen Holcim. Kemudian kita ambil kanan memasuki Klapanunggal. Berbeda dengan kondisi jalan sebelumnya, mulai dari sini kondisi jalannya mulai dari jelek-sangat jelek. Daerah ini memnjang perbukitan kapur yang ditambang untuk kepentingan bahan baku semen dan juga untuk bangunan. Dari jauh terlihat deretan perbukitan yang sebagiannya berwarna putih seolah-olah terluka. Dan meskipun masih pagi, wilayah ini seperti diselimuti debu/asap dan bau yang berasal dari penambangan batu dan pembakaran. Ironis sekali karena wilayah ini banyak sekali terdapat perumahan.
Dari jalan raya ini, kita akan keluar di pertigaan Jonggol-Cileungsi. Di sini kita sudah memasuki jalan propinsi yang menghubungkan Bogor-Cianjur. Meskipun begitu, kondisi jalannya boleh dibilang jelek, karena banyak aspal yang pecah dan jalanan bergelombang, dan kami nyaris jatuh sewaktu berada di tengah jalan. Dari Jonggol kita selanjutnya memasuki kecamatan Cariu.
Di sebuah pertigaan kita akan melihat petunjuk arah, ke kanan ke arah Cianjur dan Penangkaran Rusa sekitar 13 km. Nanti kita mengambil jalan yang tidak terlalu bagus. Di pertigaan kami berhenti sebentar untuk sarapan. Di pertigaan ini terpampang petunjuk arah ke Green Canyon.
Pertigaan menuju Cikutamahi/Green Canyon
Dari pertigaan ini ke Green Canyon sekitar 30 menit lagi. Pemandangan menuju Green Canyon sangatlah bagus. Sulit dipercaya atau saya baru tahu ada pemandangan sebagus ini. Pegunungan berlapis dengan gradasi warna hijau dan biru, agak-agak mirip Bukit Barisan di Sumatera. Di kiri kanan terhampar persawahan, cuman sayang kondisi sawahnya habis panen dan banyak yang belum ditanami lagi.
Salah satu view disepanjang perjalanan
Perjalanan terhenti ketika sampai di sebuah jembatan dan terdapat spanduk petunjuk arah Green Canyon. Begitu sampai di loket yang ada di pinggir jalan kami ditanya mau ke Green Canyon atau ke Curug Lalay dan Curug Penganten. Karena tidak ada rencana ke Curug lalay jadinya galau. Pas dilihatin foto-foto Curug Lalay dan Curug Penganten dari HP yang menjaga loket akhirnya saya jadi tertarik mau ke sana. Hanya saja di jelaskan jaraknya sekitar 7km. kalau berjalan kaki bisa ditempuh dalam waktu 2-2.5 jam. Opsi lain, melewati jalan berbeda dengan menggunakan ojeg dan perkiraan waktu tempuh 6km sekitar 30 menit dan 1 km selanjutnya trekking/jalan kaki.

Motor yang digunakan adalah motor yang sudah di modifikasi, mirip-mirip motor gunung/motor trail. Biasanya ongkos sekali jalan tanpa guide Rp. 40.000. Dan kami mau PP dan guide ke Curug Lalay dan Curug Penganten. Saya dan Revan memutuskan untuk membayar Rp. 100.000 PP + guide yang kami bayarkan setelah kembali dari Curug Lalay.
Jika kalian pernah naik ojeg gunung di Curug Sawer-Situ Gunung-Sukabumi, maka perjalanannya sama, hanya saja trek di sini lebih jauh. Trek ini sebenarnya adalah trek warga yang membawa kayu menggunakan motor, jadi berbeda dengan trek kalau kita jalan kaki.
6 kilometer perjalanan cukup buat menguji adreanalin. Kondisi jalan yang berupa jalan tanah dan kecil dan di kiri merupakan jurang. Kondisi jalan menanjak mendominasi keberangkatan ini. Tikungan dan tanjakan panjang sehingga sangat tidak di anjurkan membawa motor normal (matik atau manual yang belum dimodifikasi). Karena lahannya masuk lahan warga, jadi nya tanaman yang mendominasi yaitu kopi dan durian. Durian Cariu adalah salah satu jenis durian lokal yang terkenal.
Kondisi jalan gunung ini seperti tidak bearti bagi para pembawa kayu yang mendapatkan upah sekitar Rp. 50.000-Rp. 70.000 sekali trip. Berbeda dengan para pembawa kayu di trek menuju Curug Cihear yang dibawa dengan di bopong.
Di salah satu titik, kita bisa menyaksikan salah satu gunung/bukit sebelum meyeberang sungai Ciomas yang disebut Gunung Sulah. Gunung ini tidak terlalu tinggi, berwarna kecoklatan diterpa sinar matahari (kalau pagi tidak terlalu kelihatan warnanya). Di kaki gunung terlihat petani sedang mengolah sawah. Nah melewati Sungai Ciomas kita sudah memasuki wilayah Karawang. Hanya saja karena sungainya memutar-mutar saya agak bingung karena kadang-kadang kita memasuki wilayah Bogor kadang-kadang wilayah Karawang.
Gunung Sulah
Gunung Sulah
Sungai yang jadi batas wilayah

Sampai di sebuah saung dekat persawahan, kami memarkirkan motor dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 1km. meyeberang sungai lagi yang debitnya sedikit karena musim kemarau dan banyaknya pipa-pipa yang mengambil langsung air dari sungai. Trek 1 km ini didominasi oleh persawahan dan ribuan pohon durian. Menurut guide kami, pohon-pohon durian ini sebagian ditanam oleh kakak-kakek buyut mereka sehingga gak heran banyak pohon durian yang sudah tua yang mungkin sudah berusia lebih dari 100 tahun. di wilayah ini dulunya (di jaman Belanda) merupakan kampung, kampung Ciporong yang ramai dan terdapat pasar, sekarnag hanya sisa beberapa rumah dan banyak berpindah ke arah luar (jalan raya).
Lokaasi parkir
Treking menuju Curug Lalay
Treking menuju Curug Lalay, terlihat banyak kebun durian
Treking menuju Curug Lalay
Hanya sekitar 30 menit berjalan kami sampai di Pos Curug Lalay. Sebenarnya bukan pos tapi sebuah warung tenpat berjualan makanan dan minuman ringan. Tempat ini juga dijadikan tempat beristirahat pergi dan pulang dari Curug lalay dan Curug Penganten. Di depan warung ada area kemping yang cukup untuk beberapa tenda saja, dan persisi di depannya adalah Sungai Ciomas.
Lanjut ke atas, menurun kita menemuka aliran seperti curug dengan leuwi yang berwarna hijau tosca. Dan tidak jauh di atasnya kita juga menemukan satu leuwi lagi dengan warna yang sama. Nah dari sini kita sudah bisa melihat Curug Lalay. Di curug ini tidak ada penjual makanan jadi saung yang tersedia adalah saung untuk istirahat.
Leuwi sebelum Curug Lalay
Leuwi sebelum Curug Lalay
Seperti biasa, kalau ada beberapa destinasi, kami mengunjungi yang paling jauh dulu. Jadi dari lalay kami langsung menuju Curug Penganten/Curug Pengantin. Nah, karena banyak yang berjalan kaki sudah kelelahan menempuh perjalanan lebih dari 2 jam maka Curug Penganten sering terlewatkan. Dari Curug Lalay ke Curug Penganten kita harus menempuh jalan yang lumayan ekstrim, kalau boleh bertanya, ini mau ke curug atau mendaki gunung? Hehehe...
Untuk menuju Curug Penganten kita harus mendaki lagi sekitar 20 menit. Menyusuri tebing sungai, dan ditengah jalan kita menemukan curug kecil yaitu Curug Dempet, dengan ketinggian sekitar 5m. Curug ini jatuh diantara 2 batu yang berdempetan, kalau musim hujan ada aliran kecil di curug utama.
Curug Dempet

Curug Dempet
Meski tidak terlalu panjang, trek ini melewati bibir jurang, menginjak bebatuan, dan jembatan kayu yang menggantung di bibir jurang dan berpegangan dengan tali seadanya. Selanjutnya melewati batu-batu gunung dan akar pohon. Kemudian menurun sehingga terlihat Curug Penganten bertingkat-tingkat. Berhubung musim kemarau, tingkatannya terlihat 3 tingkatan, kalau di musim hujan bisa terlihat sampai 5 atau lebih.
Curug Penganten dari atas

Curug Penganten dari atas
Untuk turun ke bawah kita melewati tebing batu, dan disediakan tali untuk berpegangan. Sampai di bawah kita bisa menikmati kesejukan air curug ini. Meskipun kemarau, debit air masih lumayan besar. Tinggi curug utama yang berada paling bawah sekitar 25 meter lebih dan air nya jatuh ke lewi dengan kedalaman sekitar 1.5m.  kemudian airnya mengalir melewati tebing batu menyerupai lembah batu mini. Air sungai inilah yang menjadi aliran curug-curug di bawahnya. Karena berada di lembah sempit, jadi tidak ada ruang terbuka untuk traveler yang berencana berkemah di sini.
Curug Lalay
Curug Lalay
Kembali ke Curug Lalay, meski hampir tengah hari, pengunjung masih bisa dihitung jari. Untuk bisa melihat semua tingkatan curug bisa dilihat dari kejauhan, di depan saung atau di curug paling bawah. Meski terlihat kecil dan pendek tapi sebenarnya lumayan tinggi jika kita mendekat. Curug utama mempunya ketinggian sekitar 10m dengan leuwi yang berwarna hijau tosca dan tidak terlalu dalam. Juga terdapat curug dan leuwi kecil setelahnya.
Curug Lalay keseluruhan (tidak terlihat bagian atas)
Menikmati kesejukan curug ini pastilah dengan cara berenang di dalam kejernihan dan kesejukannya. Tempat favorit saya adalah tingkatan paling bawah dimana kita bisa bermain seluncuran di batunya. Sementara kolam di bawahnya tidak terlalu dalam, hanya sekitar 1,5m. jadi buat pengunjung tidak perlu merasa kuatir karena semua kolam disini tidak terlalu dalam kecuali buat pengunjung anak-anak. Yang menjadi perhatian adalah air bah, jadi hati-hati kalau mengunjung curug ini di musim hujan.
Formasi bebatuan di CUrug Lalay
Berenang di Curug Lalay bagian bawah
Berenang di Curug Lalay bagian bawah
Berseluncur
Curug Lalay bagian tengah
Berenang di Curug Lalay bagian bawah
Curug Lalay bagian tengah
Puas berenang kami melanjutkan perjalanan ke Green Canyon sebelumnya istirahat sejenak di Pos bawah untuk menikmati mie instan, lumayan untuk mengganjal perut dan modal perjalan berikutnya. hanya ada 1 hal yang masih menggeiti, sebenarnya Curug layar dan Penganten ini masuk Karawang atau Bogor? hehehehe

Baca juga link terkait:

Labels: , , , , , , , , ,